-->

Sifat Malu Adalah Bagian Dari Akhlaq Yang Terpuji

Sifat Malu Adalah Bagian Dari Akhlaq Yang Terpuji

 Sifat Malu Adalah Bagian Dari Akhlaq Yang Terpuji - Diantara akhlaq yang terpuji adalah memiliki rasa malu (al-haya), rasa malu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan, agar manusia tidak berbuat sesukanya, tanpa memperhatikan etika agama, islam memandang malu adalah termasuk dari iman. Rasulullah Saw. bersabda: "Sikap malu dan kalem adalah dua cabang iman. Caci maki dan lancang mulut adalah dua cabang sifat munafik."

Dalam hadits lain juga beliau bersabda: "Al-Haya adalah sebagian daripada iman dan iman tempatnya di surga. Sedangkan lancang mulut adalah kebengisan, dan kebengisan tempatnya di neraka."

Orang kerap memilih istilah tak tahu malu, untuk menunjukan perbuatan kurang ajar atau kebal muka, bagi yang terbiasa, orang tidak malu-malu lagi berbuat tak senonoh meski disaksikan banyak orang. Karena iman yang semakin menipis membuat sebagian remaja putri yang tidak lagi merasa malu mempertontonkan pusar dan perutnya, laki-laki dan perempuan tidak malu-malu lagi berangkulan berpelukan didepan umum, bahkan tidak malu bunting sebelum menikah.

Dulu, orangtua mau menghajar anaknya yang bunting dan melakukan perzinahan sebelum menikah, karena beratnya pelanggaran dan besarnya dosa yang telah dilakukan, namun agaknya sekarang hal itu sudah biasa dan wajar-wajar saja, Naudzubilah.

Adalah Umar r.a. memerintahkan pencambukan anaknya, Abu Syahmah, hingga tewas karena zina, anjuran beberapa sahabat untuk mem"peti es" kan perbuatan anaknya ditolak tegas oleh Umar: "Hai anakku, lebih baik engkau menerima hukuman ini sekarang, daripada nanti ayahmu yang menanggung malu dihadapan Allah diakhirat!" Kata Umar kepada anaknya.

Trasisi mundur jabatan seharusnya dibiasakan bagi para pejabat, jika menurutnya kalau kursi itu diduduki, ia akan menanggung malu didepan rakyat.

Kitab-kitab akhlaq, tauhid, atau fiqih selalu mengurai butir-butir peribahasa atau puisi-puisi yang menyuruh bersikap khudhu', merendah diri dan bersikap malu, banyak ulama salaf yang tidak suka pubilitas untuk mencari popularitas demi jabatan dan harta kekayaan.

Abu Dzar Al-Ghiffari, seorang sahabat yang pemalu, ia dikenal sangat alim dan luar biasa jujurnya, ia tinggal menyudut kepinggir kota, menghindarkan seluruh tawaran jabatan yang diberikan kepadanya, namun sekali dipinta fatwanya, terlihat kepandaian dan keluasan ilmunya, ia dengan jujur dan tidak malu-malu mengkritik keburukan tatanan sosial dan kebobrokan para penguasa.

Seorang hukama mengatakan: "Barangsiapa menutup dirinya dengan baju malu, maka aib dirinya tidak akan terlihat orang." Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Wahai manusia, kalau kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu."

Ada tiga rupa sifat malu, yaitu malu terhadap Allah, malu kepada orang lain, dan malu kepada diri sendiri.

Pertama: Malu kepada Allah, adalah dengan mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Malulah kalian kepada Allah Swt. dengan malu yang sungguh-sungguh." Beliau juga bersabda: "Barang siapa memelihara kepala dan isinya, perut dan muatannya, menepiskan perhiasan dunia, mengingat maut dan siksa, berarti dia sudah berbuat malu kepada Allah dengan malu yang sesungguh-sungguhnya."

Pernah suatu ketika ada seorang datang meminta nasehat kepada Nabi Muhammad Saw: "Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat." Rasulullah Saw. bersabda: "Hendaklah kamu malu kepada Allah Swt. seperti halnya engkau malu kepada orang-orang terhormat dari kaummu."

Kedua: Malu kepada manusia, adalah dengan menahan cacian (kaafil adza) dan meninggalkan keburukan secara terus terang (tarkil mujaharah bil qabih).

Rasulullah Saw. bersabda: "Termasuk taqwa kepada Allah, adalah memelihara hubungan baik dengan sesama manusia."

Bentuk haya semacam ini, bisa muncul dari tata krama dan sopan santun terhadap sesama manusia, Rasulullah Saw. bersabda: "Barang siapa yang mengenakan jilbab haya, ia takkan terfitnah."

Ketiga: Malu kepada diri sendiri, adalah dengan kesucian diri dan meninggalkan keinginan yang hina (iffah), dan memelihara perenungan diri (shiyanah al-khalawat). Seorang ahli hikmat mengatakan: "Hendaknya malumu kepada dirimu sendiri lebih besar daripada malumu kepada orang lain."

Bentuk malu (haya) ini terbit dari keutamaan jiwa (fadhilat al-nafs) dan keindahan perilaku (husnul al-sarirah).

Ketika seseorang memiliki ketiga jenis malu ini dan mampu menerapkan secara proporsional, maka sempurnalah baginya jalan-jalan kebaikan, dan tercegah darinya biang-biang kejahatan, hidupnya terhormat dalam pandangan manusia dan mulia dalam pandangan Allah Swt.

Semoga bermanfaat dan semoga Allah Swt. memberikan kekuatan kepada kita semua agar bisa mengamalkannya, Aamiin.

(Baca Artikel Muslimah/iwanardika.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel